Menemukan sebuah tulisan yang sangat inspiratif membuat saya berpikir bahwa pemikiran semacam ini perlu disebarluaskan untuk menjadi renungan bersama, kenapa saat ini akal sehat, etika politik jarang selaras dengan praktek politik dinegara ini. Sebagian besar orang yang ku temui bersikap apatis ketika ditanya sikap politiknya, mayoritas telah kehilangan harapan dan kepercayaan kepada orang-orang yang duduk dikursi legislatif.
"Kewarganegaraan" adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas
politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental
tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak
pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah
kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan
pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun.
Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama
dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk
mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah
sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik
atau dalam hasil Pemilu." Rocky Gerung
Lebih jauh lagi "Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan.
Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme,
tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh
sifat politik reformasi yang amat "toleran", sehingga memungkinkan
seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang
aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh
menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah
talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat
toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik
yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi.
Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik
keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan
politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan.
Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir,
kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan"
maka kita menadi pemirsa yang kadang-kadang terheran-heran melihat perdebatan tak masuk akal dilayar kaca, ketika kebenaran menjadi absurd, batas antara hitam dan putih menjadi samar. Meskipun akal sehat kita memahami siapa yang sebenarnya bersalah, tapi disisi lain gempuran informasi yang simpang siur membuat pertahanan logika kita menjadi jebol. Peran media untuk memberitakan secara objektif kadang-kadang tak bisa diyakini, akhirnya orang-orang bersikap apatis masa bodoh, seperti kata pak Anies Bawesdan bahwa yang membuat negara ini hancur adalah ketika banyak orang-orang baik yang memilih untuk diam dan tak berbuat apa-apa, orang-orang cerdas dan memiliki integritas tidak memandang manfaat apapun dari kekisruhan tersebut.
Dalam lanjutan pidatonya, beliau mengatakan" Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan
dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua
lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep
"publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik
terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik
hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang
berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik
pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan
dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu
mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka
yang "ragu-ragu" inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi
dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu"
ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu
masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan
moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam
inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk
menebar hegemoni moral mayoritas"
Kondisi ketidakpercayaan dan sikap acuh melahirkan golongan ragu-ragu yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, mereka ragu untuk bersikap, ragu untuk memilih, ragu untuk bertindak..misalnya ketika kita punya pilihan-pilihan Capres A, Capres B..yang A seorang nasionalis dan plural sedangkan yang B adalah seorang ideologis fundamental yang memiliki massa. Golongan ragu-ragu memilih untuk golput, tanpa menyadari bahwa kondisi tersebut bisa memenangkan si Capres B yang ideologis dan fundamentalis. Pilihan untuk tidak bersikap bisa melahirkan satu sistem baru yang mampu merubah secara fundamental sistem berbangsa dan bernegara ini.
" Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan
sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga
dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut
kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka
kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap. Rocky Gerung"
Sampai saat ini, saya kadang tidak paham akan ketakutan orang-orang terhadap pluralisme, ketika mereka mengartikan pluralisme dan sekulerisasi sebagai momok menakutkan dan dapat mengancam eksistensi mereka, justru bukankah pluralisme menjamin bahwa semua orang dapat melangsungkan eksistensi diri dengan bebas tapi bukannya tanpa batasan. Karena seperti kata beliau bahwa kebenaran bersifat tentatif artinya, bahwa pluralisme menjamin ruang terbuka untuk membicarakan tentang kebenaran dalam suasana damai dan demokratis.
"Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik.
Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di
sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi
politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam
Republik, "suasana" percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang
fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di
dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon
politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan
mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan
kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain,
intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh
terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke
dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal
publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya
mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah
falibilis, bukan absolutis"
Ketika duduk semeja dalam ruang yang bernama republik, maka seharusnyalah para wakil rakyat, eksekutif menanggalkan hasrat dan kepentingan pribadi serta golongan dan memandang tujuan yang lebih besar dari dasar berbangsa dan bernegara yang telah disepakati bersama, karena mereka bukan lagi milik partai A, partai B dan c dan seterusnya..karena saat mereka mendeklarasikan diri sebagai wakil rakyat mereka adalah milik rakyat yang memilihnya dan rakyat adalah representasi dari sebuah negara yang berdaulat.
Putussibau, Pertengahan Maret 2014
Mencoba belajar politik
No comments:
Post a Comment