Bertolak dari kota putussibau dengan menggunakan speedboat dengan waktu jarak tempuh kira-kira 2 jam perjalanan akhirnya kami tiba disebuah desa yang bernama Teluk Aur. Desa tersebut masih berada dalam wilayah kecamatan Bunut Hilir. Dengan jumlah penduduk kira-kira 200 kepala keluarga, sebagian besar profesi utama penduduk setempat adalah nelayan dan penoreh karet. Rumah-rumah dihubungkan oleh jembatan kayu karena permukaan tanah yang rendah dan terendam pada saat air Kapuas pasang tinggi. Kami ditampung oleh seorang teman yang baik hati bernama Zul, beliau juga merupakan mitra WWF untuk program pemberdayaan masyarakat setempat sebagai pemandu dan fhotografer lokal yang difasilitasi oleh WWF putussibau. Sekilas dilihat bahwa tempat ini tidak memiliki hal yang menonjol, tapi begitu kita masuk kedalam dan mulai menyelami cara hidup dan kekayaan alam yang berada diwilayah tersebut maka barulah dapat kita ketahui betapa luar biasanya tempat itu bagi kelestarian alam Kapuas hulu.
Setelah lapor diri dan beramah tamah dengan kepala desa setempat serta mengisi buku tamu, kami mulai menyusun rencana untuk besoknya, kira-kira rute apa saja yang harus ditempuh untuk mendapatkan objek fhoto yang menarik, yang pasti adalah binatang habitat asli seperti burung enggang, kelasi, orang utan dan sebagainya.
Hari pertama kami menyusuri hutan lindung dengan menggunakan sebuah perahu temple alias perahu bermesin dengan PK yang kecil, namun sayang hutan terasa lenggang. Justru keberuntungan tak disangka datang saat kami pulang, dalam perjalanan kami bertemu beberapa ekor monyet berekor panjang dengan nama latin Macaca fascicularis termasuk family Cercopithecidae yang sedang menyeberangi sungai. Kerennya lagi, kami melihat seekor induk monyet yang sedang membawa bayinya, duh lucunya si bayi menggelayut erat-erat diperut ibunya..membuatku terharu, benar juga kata pepatah bahwa kasih ibu sepanjang masa kayak kita juga ya..hehehehe..kemudian ketemu lagi sama burung enggang alias rangkong yang sedang mejeng dipohon cempedak air yang merupakan makanan favorit satwa local. Sorenya kami beranjak menyusuri danau lindung teluk aur yang merupakan bentuk kearifan local masyarakat setempat untuk melestarikan habitat air tawar yang didalamnya termasuk ikan langka dan bernilai tinggi seperti ikan siluk atau arwana. Danau ini meraih juara III tingkat kabupaten. Kami menepi kesebuah daratan dan opps! Dari kejauhan ada seekor lutung kelasi merah dengan nama latin Presbytis Rubicunda termasuk family Cercopithecidae juga. Temanku dan zul demi memotret objek tersebut rela meneboros semak dan pepohonan dan tidak sia-sia mendapatkan beberapa fhoto menarik meskipun tidak terlalu focus. Memiliki ciri khas berupa jambul merah yang seperti mahkota membingkai wajah unik mengingatkanku pada topeng monyet dan hanoman salah satu tokoh dalam dunia perwayangan. So Excited!
Besoknya kami memilih antara dua opsi, ke danau lindung empangau yang merupakan juara I tingkat Nasional atau mencari objek orang utan disebuah wilayah bernama jaung. Desa Teluk Aur memiliki beberapa dusun yang dihuni oleh orang dayak iban yang menurut informasi penduduk setempat bahwa sebenarnya mereka bukan berasal dari wilayah tersebut tapi dari lintas utara dimana memang sebagian besar penduduknya adalah etnis dayak iban. Orang iban memang terkenal sebagai suku dayak terakhir yang menerapkan hidup berpindah-pindah alias nomaden. Perpindahan mereka kedaerah itu membentuk dua buah komunitas masyarakat dusun jaung I dan Jaung II. Dusun jaung I hanya terdiri dari belasan kepala rumah tangga dan berlokasi persis ditepi sebuah danau besar yang memiliki pemandangan spektakuler dan menjadi objek mata pencaharian para nelayan dari desa teluk aur. Tapi untuk ke Dusun jaung II harus melewati rute sungai menyusuri hutan lebat dan masih perawan dan dilindungi. Disinilah terdapat komunitas orang utan yang merupakan migrasi dari bukit jaung II, informasi yang kami dapat karena cempedak air sedang berbuah dan melimpah ditempat ini maka para orang utan yang sebelumnya berasal dari daerah perbukitan akan bermigrasi temporer ketempat ini dan sangat mudah menjumpai mereka. Dari teluk aur pagi-pagi kami menuju wilayah jaung melewati danau pengelang yang sangat indah. Menepi disebuah lokasi sekolah SD jaung I kami harus berjalan kaki kira-kira 30 menit melewati hutan basah dan berlumpur, wihh..benar-benar edan…beberapa kali sandalku lepas karena lengket dilumpur. Tour guide kami sudah menghubungi seorang teman bernama bakat penduduk iban jaung II yang juga merupakan mitra WWF untuk mengantar kami menemukan objek yang kami cari yaitu Orang Utan. Karena sudah tidak kuat harus menerobos semak dan pepohonan yang lumayan berat kami meminta bantuan seorang bapak yang kebetulan lewat dengan perahu speed, bapak tersebut kebetulan akan pulang ke jaung II sedangkan lokasi penjemputan yang kami sepakati masih lumayan jauh. Puji Tuhan!
Perjalanan ke jaung II memakan waktu kira-kira satu jam, kami harus menunggu beberapa saat untuk lapor diri karena kepala dusun yang sedang ngantor ke kebun karet. Saat beliau datang kami beramah tamah dan berbagi cerita seputar beberapa hal, misalnya kenapa dayak iban kok bisa migrasi ketempat tersebut yang pada dasarnya penduduk Kapuas hulu memiliki stereotif umum bahwa suku melayu yang berprofesi sebagai nelayan hidupnya ditepi sungai Kapuas dan danau sedangkan dayak adalah suku darat yang berprofesi sebagai petani dan perambah hutan.
Kalau diperhatikan raut wajah kepala dusun masih memiliki gurat ketampanan dengan kedua lengan berotot menandakan kerja keras seumur hidup, beliau juga memiliki banyak tattoo berbentuk bintang..entah apa maknanya, mungkin terinspirasi lagu nike ardila “Bintang Kehidupan” atau cerita natal tentang bintang timur yang bersinar terang takkala orang majus bingung mencari jalan ke kandang domba. Maklum, seratus persen masyarakat local memeluk keyakinan khatolik karena setahu saya, motif khas suku iban adalah bunga terong. Hidup mereka sungguh mengagumkan dan saya menaruh hormat setinggi-tingginya kepada mereka. Mereka adalah benteng terakhir kelestarian alam dan budaya local.
Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah panjang sebagai rumah tradisional sebagian penduduknya mulai memisahkan diri dan membangun rumah-rumah terpisah dari lokasi tersebut dan kebetulan sekali bisa menyaksikan seorang ibu sedang membuat kain tenun dengan motif khas, juga seorang nenek yang masih tersimpan gurat kecantikan dimasa lalu sedang menganyam tikar, gadis-gadis iban memang terkenal bersih kulitnya dan cakep, tidak heran udah tua saja kulitnya masih putih. Saya juga tidak mau ketinggalan untuk mencoba alat tenun tersebut, tentunya dengan gaya narsis..pengampor (pembohong) yang gagal kata temanku.
Akhirnya, kami harus kembali pada tujuan utama yang maha penting yaitu untuk menemukan komunitas orang utan setempat. Bakat bercerita tentang kawanan orang utan yang sering mereka jumpai, ada induk yang sedang hamil dan ada juga yang membawa anaknya yang masih bayi, makin semangat rasanya untuk memotret mereka…sungguh luar biasa.
Menyusuri sungai dan hutan basah yang lenggang sesekali ditingkahi suara-suara burung yang entah dimana bersembunyi kami tidak menemukan apa-apa sampai menjelang tengah hari. Diam-diam aku mulai putus asa dan melemparkan joke ke temanku “ coba aja kamu telpon atau sms dulu ke mereka bilang kita mau datang..sapa tau mereka mau menyambut kita dengan narsis” ya..atau mereka lagi bobo kesiangan, kayaknya mereka punya jam tidur lumayan molor ya..hahahaha…
Tapi kalau memang rejeki takkan lari kemana kata orang, kesabaran setengah hari akhirnya membuahkan hasil manis. Mata Bakat yang jeli menangkap objek dimaksud sedang makan siang disebuah pohon..eiiitt, bukan hanya itu saja..ternyata ia sedang membawa anak yang mencengkram erat tubuh induknya…waaaahhh….serasa menang lotre 1 triliun, kami membawa perahu menepi ke daratan dan paparazzi pun beraksi dengan kameranya. Sungguh para mahluk eksotis itu seperti selebritis yang dikejar-kejar paparazzi, meskipun tunggang langgang harus terbenam air sebatas perut, tersangkut onak duri dan menerobos semak serta pepohonan lebat paparazzi tak mundur untuk mengejar objek yang kemudian menjauh mungkin karena shock diliput sedemikian rupa. Dimana-mana artis/actor Hollywood selalu berusaha melindungi privacy diri dan keluarga, jadi wajar saja mereka juga lari tunggang langgang mungkin sambil ngedumel dalam hati, “ manusia memang tidak tahu diri, mengganggu kenyaman hidup aja, emangnya eike selebritis apa…” hehehehehehe….
Yah, karena lensa kameraku termasuk jenis yang standar sehingga untuk menangkap objek jauh tak terlalu focus akhirnya aku menunggu berdiam diri diperahu saja..tidak terbayang juga sih kalau harus turun dan tenggelam diair gara-gara mau ngejar orang utan..ntar eike diketawain sama mereka ..getooo….gak keren lagi…
Aku menunggu teman-temanku cukup lama, juga saat si zul berbalik ke perahu untuk mengambil persediaan baterai lain demi mengganti baterai yang sudah low bat, aku hanya bisa membayangkan dalam hati seperti apa pose para orang utan itu dikamera nanti. Huh, para fhotografer itu pasti pada ngiri pada momen-momen ini….akhir para paparazzi kembali ke perahu dengan wajah sumringah dan berseri-seri, benar-benar seperti menang lotre deh…puas?..puas katanya. Sekarang peernya hanya satu, yaitu menemukan rancung atau monyet berhidung panjang atau bekantan. Kami pun beranjak pulang dan harus berpisah dengan guide local kami, aku sangat berterima kasih atas keramahan dan kerja kerasnya mengantar kami sampai menemukan objek yang kami cari mudah-mudahan masih ada pertemuan dilain waktu dalam ekspedisi berikutnya.
Sungguh kami adalah orang-orang yang diberkati, diperjalanan pulang kami bertemu dengan segerombolan bekantan namun sayang obyek terlalu jauh untuk ditangkap lensa kamera sehingga agak blur tapi lumayanlah untuk blog fhoto. Bekantan memiliki rupa yang menawan, hidung panjang ala bule, ekor panjang berbulu putih kontras dengan bulu tubuh berwarna merah, pada dadanya terdapat garis abu-abu seperti BH kata temanku antara leher dengan tubuh tengah warna sedikit muda. Pokoknya cakep banget deh, I love u! kali ini temanku menyatakan ketidakpuasannya karena tidak mendapatkan fhoto gerombolan bekantan tersebut dengan kualitas yang baik.
Akhirnya pencaharian kami berakhir dan bersiap-siap untuk pulang kehabitat asal esok paginya. Meninggalkan kesan yang tak ternilai dalam perjalanan hidupku dan menumbuhkan kecintaan yang lebih besar terhadap alam raya dan segala isinya, betapa beruntungnya kita karena dianugerahkan kekayaan alam yang luar biasa ini, segala jenis hewan eksotis itu, mereka harus dijaga kelestariannya dan kearifan masyarakat lokallah yang sangat menentukan keberadaan mereka dimasa depan. Mencintai alam berarti menghargai kehidupan yang berada didalamnya, karena ada hubungan yang erat antara kesejahteraan margasatwa dengan kesejahteraan manusia didalamnya. Merusak alam akan membunuh margasatwa, bila margasatwa musnah..dapatkah kita hidup tanpanya?