Sunday, September 2, 2012

Lahan Rakyat, lahan investasi?


Saya sebetulnya bukan orang yang anti investasi perkebunan, karena bagaimanapun sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi dari eksport CPO dan juga merupakan salah satu bahan baku yang penting bagi berbagai macam industri. Kalimantan dan daerah lainnya indonesia beruntung dikaruniai lahan yang begitu luas, khususnya kalimantan barat merupakan salah satu pulau terbesar di dunia dengan penduduk yang jarang-jarang sehingga banyak memiliki lahan menganggur meskipun telah didrop banyak transmigran dari pulau-pulau lain.
Namun kalimantan juga dikenal sebagai penyumbang oksigen dunia karena hutan tropis dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Penduduk lokal memiliki kaitan yang sangat erat dan tergantung sepenuhnya terhadap keseimbangan ekosistem didalamnya. Bisa dikatakan bahwa tanpa hutan, maka tak ada kehidupan, tak ada hutan berarti kematian bagi semua komunitas lokal. Dari dulu, masyarakat adat telah memandang penting menjaga kelestarian hutan dan menuangkannya dalam bentuk aturan-aturan 
positif yang disepakati bersama didalam komunitas tersebut bagaimana mengelola hutan, batasan-batasan apa yang harus dipatuhi agar hutan tersebut tetap terjaga bukan hanya bagi manusia melainkan bagi seluruh flora dan fauna yang hidup didalamnya. Namun dimulai dari era orde baru, munculnya Hak Pengusaaan Hutan yang dibagi secara royal kepada banyak perusahaan kayu, terjadi pembabatan besar-besaran terhadap lahan hutan rakyat, diganti dengan proyek akasia yang sisa-sisa kekonyolan proyek tersebut masih bisa disaksikan didaerahku dari satu atau dua pohon akasia yang tersisa dan tidak jelas untuk apa manfaatnya. 
Masuknya investasi perkebunan kelapa sawit tentunya sebenarnya merupakan hal yang positif, namun yang tidak positif adalah perubahan gaya hidup masyarakat tradisional yang telah menyerahkan lahan tersebut. Dengan tingkat pendidikan rendah, mereka tidak mungkin masuk sebagai pekerja profesional dalam perusahaan yang beroperasi bahkan untuk setingkat mandorpun sulit mencari person yang memiliki kualifikasi tersebut, karena memang mereka adalah masyarakat tradisional yang menganggap alam masih bisa menyediakan segalanya. Kebun karet yang sebelumnya menjadi penopang biaya hidup sehari-haripun telah dibabat, dan lahan untuk berladang tak ada lagi..saya membayangkan masa depan apa yang menanti mereka kelak. Cara satu-satunya adalah bagaimana pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat yang termarginal tersebut, mungkin dengan memberikan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan yang baik dan pelatihan ketrampilan lain yang dapat mengalihkan mereka dari gaya hidup zona nyaman selama ini. Tapi betul akan demikian?
Memandang lahan yang dulu menghijau oleh pepohonan, kini oleh sawit-sawit, hatiku tertusuk perih...kemana satwa kini bersembunyi dari teriknya matahahari, memuaskan lapar dan dahaga mereka..masa depan apakah yang dapat kita berikan kepada rakyat kita yang lugu dan polos...semoga tidak menjadi konflik...semoga semua baik-baik saja...semoga panas tidak terlalu membakar kulit, sungaiku yang dulu jernih kini mengandung racun dan keruh...kemana mereka berlari, kemana mereka bersembunyi...

No comments: